TRADISI SEJARAH PADA
MASYARAKAT YANG SUDAH MENGENAL TULISAN
A.
Tradisi Sejarah Di Berbagai Daerah Di
Indonesia
Tradisi sebagai salah satu bagian
dari kehidupan budaya masyarakat dapat mengalami perubahan. Salah satu faktor
terjadinya perubahan kebudayaan tersebut adalah adanya konta-kontak dengan
kebudayaan luar. Menurut Roger M. Everett (1963), unsur-unsur kebudayaan luar
(asing) yang biasanya mudah diterima oleh kebudayaan lainnya adalah unsur-unsur
kebudayaan yang memiliki unsur sebagai berikut.
1. Unsur
kebudayaan yang konkret berupa benda.
2. Unsur
kebudayaan yang memiliki kegunaan bagi masyarakat.
3. Unsur
kebudayaan yang dapat disesuaikan dengan susunan dalam masyarakat atau unsur
yang tidak mengganggu keamanan masyarakat.
Masuknya unsur-unsur budaya asing ke
Indonesia juga menyebabkan terjadinya proses perubahan serta
pergeseran-pergeseran dalam masyarakat setempat. Contoh unsur budaya asing yang
banyak memengaruhi tradisi kebudayaan masyarakat Indonesia adalah kebudayaan
Hindu-budha. Selain pada batu prasasti, media yang digunakan untuk menulis
adalah daun lontar (kropak), lempengan perunggu, lempengan emas, lempengan
perak, nipah, bamboo, kulit pohon, kayu, kain, dan kertas. Selanjutnya, tradisi
tulis berkembang di luar istana dan di dalam istana.
1. Tradisi
Tulis di Dalam Istana
Pada
zaman sejarah, bahasa tulisan menjadi alat komunikasi yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Pada awalnya, tradisi tulisan berkembang di lingkungan
istana untuk mencatat peristiwa-peristiwa penting dalam kerajaan,
surat-menyurat kerjaan, peraturan, dan perintah raja serta penulisan karya
sastra. Contoh peninggalan sejarah sebagai bukti mulai munculnya tradisi
tulisan di istana adalah prasasti atau inskripsi dan karya sastra.
A.
PRASASTI
Prasasti adalah tulisan yang dipahatkan pada batu berisi catatan suatu
peristiwa penting kerajaan. Prasasti yang di temukan di indonesia, umumnya
menggunakan berbagai bahasa, antara lain sebagai berikut.
1.
Bahasa
Sansekerta
Bahasa ini, umumnya di gunakan oleh kerajaan indonesia sekitar abad ke-4
sampai dengan abad 9. contohnya, prasasti ciaruteun, prasasti jambu, prasasti
kebon kopi, dan lain-lain.
2.
Bahasa Jawa Kuno
Di pakai pada abad ke-9 misalnya,
pada Prasasti Kedu (907 M) atau Prasasti Mantyasih peninggalan kerajaan
Mataram kuno.
3.
Bahasa Melayu Kuno
Bahasa ini menggunakan bahasa melayu kuno di jumpai di daerah sumatra. Contohnya, Prasasti Kedukaan Bukit,
Prasasti Talang Tuo.
4.
Bahasa Bali Kuno
Prasasti ini menggunakan bahasa bali kuno. Contohnya, Prasasti Julah dan
Prasasti ugrasena.
B.
KARYA SASTRA
Sebelum di temukan kertas, masyarakat zaman kuno telah terbiasa menuliskan
catatan penting atau karya sastra mereka pada daun lontar atau kropak yang
tidak tahan lama atau cepat rusak. Di kerajaan hindu-buddha di jawa tengah,
naskah karya sastra yang ditulis pada daun lontar disebut kesusastraan parwa.
Contohnya, kitab hariwangsah, sutasoma, dan lain-lain.
2. Tradisi
Tulis di Luar Istana
Tradisi
tulis naskah rakyat tersebut sebagian besar berkembang di daerah yang tidak
berada di bawah kekuasaan kerjaan. Naskah-naskah kuno tersebut berisi ajaran
keagamaan, filsafat, kesusastraan, puisi, drama, sejarah dan perkembangan hukum.
Meskipun di beberapa daerah tradisi naskah tradisional telah punah, namun tradisi
itu tetap dilestarikan di Bali dan Sulawesi Selatan hingga saat ini. Berikut
berbagai tradisi tulis di berbagai daerah di Indonesia.
A.
Tradisi Tulis di Bali
Tradisi tulis tertua di Bali
bersumber dari tradisi tulis istana dan prasasti batu serta lempeng tembaga.
Mulai abad ke-16 di ciptakan berbagai naskah bertema keindahan alam, persatuan
dengan dewa, perbintangan, pengobatan, penanggalan, silsilah, mantra, syair,
dan kisah-kisah keagaaman. Kisah-kisah tersebut di tulis dalam bentuk kidung
(nyanyian), geguritan (puisi), dan parikan (pantun)
B.
Tradisi Tulis di Sumatra Selatan
Naskah di Sumatra Selatan di tulis di atas kulit kayu, bambu, batang
rotan, lempeng tembaga, kertas, dan tanduk kerbau. Huruf yang dipakai pada
tradisi tulis di Sumatra Selatan adalah aksara kerinci, aksara rencong Rejang,
dan aksara Lampung.
Menurut Petrus Vooreve, huruf Sumatra Selatan di pengaruhi oleh aksara
Jawa. Namun, huruf Jawa tersebut sudah disesuaikan dengan media penulisan
naskah.
C.
Tradisi Tulis di Jawa Barat
Naskah di Jawa Barat di tulis di
atas daun palem, bambu, dan kertas. Huruf yang dipakai pada tradisi tulis di
Sunda adalah aksara Sunda kuno, aksara Sunda Jawa(cacarakan), Arab gundul, dan
Aksara latin.
Pada abad ke-19, mulai ditulis
berbagai cerita rakyat tradisional. Hal itu didorong oleh kebijakan pemerintah
Belanda untuk memelihara tulis Sunda. Caranya dengan penggunaan bahasa Sunda
menjadi bahasa tulisan. Beberapa cerita rakyat yang ditulis dalam bentuk naskah
adalah manggung kusuma, mundinglayadi kusuma, ciung wanara, dll
D.
Tradisi Tulis di Sulawesi Selatan
Tradisi tulis naskah berkembang
dengan pesat di Sulawesi Selatan setelah adanya budaya tulis. Misalnya, di
kalangan suku Mandar, Bugis, dan Makassar.
Menurut Robert Wilson, I La Galigo
dianggap sebagai kesustraan terbaik di dunia. Naskah epos kepahlawanan setebal
6.000 halaman tersebut berisi kisah di Kerajaan Luwu pada masa praislam.
B.
Perkembangan Penulisan Sejarah di
Indonesia
Penulisan sejarah merupakan puncak
dari suatu penelitian sejarah. Hasil penulisan sejara di sebut historiografi.
Berkembangnya tradisi tulis-menulis, berdampak kebiasaan untuk menuliskan
sebuah kisah, peristiwa, atau kejadian penting yang di alami oleh seseorang, sekelompok orang, bangsa, atau
suatu Negara. Penulisan sejarah Indonesia mengalami beberapa kali perode
perkembangan. Setiap periodisasi perkembangan penulisan sejarah, selalu
memiliki ciri-ciri atau karakter tersendiri yang dapat membedakannya dengan
periodisasi perkembangan penulisan sejarah yang lainnya. Periodisasi
perkembangan penulisan sejarah, antara lain.
1. Historiografi
Tradisional
Penulisan
sejarah tradisional adalah penulisan sejarah yang lebih mengedepankan unsur
keturunan (geneologi), tetapi mempunyai kelemahan dalam struktur kronologi dan
unsur biografi. Historiografi masa
tradisional berkembang pada masa Hindu-Buddha dan Islam.
A.
Zaman Hindu-Buddha
Tradisi tulis pada masa Hindu-Buddha
berkembang dengan pesat sehingga tercipta 1000 buah naskah di seluruh
Nusantara. Berdasarkan isinya, bentuk-bentuk kesusastraan pada masa
Hindu-Buddha tersebut terdiri atas tutur, (kitab keagamaan), castra(kitab
hukum), wiracarita (cerita kepahlawanan), dan kitab-kitab cerita yang berisi
ajaran keagamaan, sejarah dan moral.
B.
Zaman Islam
Pada zaman islam, tradisi penulisan
sejarah terus berlanjut. Tema-temanya sebagian ada yang disesuaikan dengan
kebudayaan islam, sedangkan sebagian lainnya merupakan hasil ciptaan baru.
Adapun jenis-jenis penulisan sejarah zaman islam meliputi hikayat dan babad.
1)
Hikayat adalah karya sastra tradisional berisi
cerita sejarah atau cerita roman yang dibaca sebagai pelipur lara, pembangkit
semangat juang, dan untuk meramaikan pesta. Kisah sejarah berbentuk hikayat
adalah Sejarah Negeri Kedah, Hikayat
Aceh, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu (sullalatussalatin), Hikayat
Hasanuddin, Sejarah Raja-Raja Riau, dan Tuhfat
al Nafis.
2)
Babad adalah cerita sejarah tradisional di
kalangan masyarakat Jawa. Babad di tulis oleh pujangga keratin untuk memperkuat
legitimasi sejarah raja yang berkuasa. Cerita babad berisi riwayat hidup raja,
silsilah raja sebagai pusat kekuasaan dan pusat dunia, hubungan raja dengan
dinasti-dinasti sebelumnya atau dengan para nabi dan dewa-dewa. Misalnya, Babad Tanah Jawi, Babad giyanti, dan Babad Pasundan. Oleh karena itu, cerita
babad mengandung hal-hal yang irasional dan mencampuradukkan antara mitos dan
realitas.
C. Ciri-ciri
Historiografi Tradisional
Karena
di tulis oleh pujangga kerajaan maka historiografi tradisional hanya merekam
kehidupan kalangan istana dalam bentuk hikayat, kronik, dan syair sejarah.
Ciri-ciri historiografi tradisional, antara lain sebagai berikut.
1)
Bersifat Istanasentris, Religiomagis dan
Regiosentris
Istanasentris artinya kisah sejarah
tradisional hanya berisi kehidupan raja atau keluarga kerajaan yang berdiam di
istana. Religiomagis artinya kisah sejarah tradisonal selalu dihubungkan dengan
kepercayaan mengenai hal-hal yang bersifat gaib. Regiosentris artinya
historiografi tradisional menyajikan kisah sejarah mengenai pengalaman kolektif
suatu kelompok masyarakat pada masa lalu.
2)
Memperkuat Legitimasi Penguasa
Di dalam kisah historiografi
tradisional, para pujangga istana
menyusun silsilah yang menghubungkan raja dengan dinasti-dinasti sebelumnya
atau dengan para nabi dan dewa. Misalnya, dalam Hikayat Melayu, raja-raja Melayu selalu dikaitkan
dengan Raja Iskandar Zulkarnain yang turun di Bukit Siguntang
2. Historiografi
Kolonial
Historiografi
kolonial adalah penulisan sejarah yang berkaitan dengan aspek penjajahan
Belanda di Indonesia. Historiografi kolonial sering dikatakan bersifat
Eropasentris atau Nerlandosentris. Nerlandosentris artinya berpusat pada
kehidupan atau aktifitas penjajahan bangsa kulit putih, khususnya bangsa
Belanda di Indonesia. Penulis historiografi kolonial adalah orang-orang
Belanda, baik yang pernah datang ke Indonesia maupun yang tidak pernah datang
ke Indonesia.
Contoh
karya sejarah kolonial yang ditulis sejak tahun 1600 adalah reizen (kisah
perjalanan) yang ditulis oleh Nicholauss de Graff, Cornelis de Bruijn, Rijklofs
van Goens, dan Valentijn. Salah satu penyebab banyaknya penulisan kisah
perjalanan adalah para penulis tersebut mengikuti kegiatan pelayaran dan
kolonisasi di tanah jajahan. Salah satu karya historiografi awal kolonial
adalah catatan-catatan perjalanan Nicholaus de Graff dalam jurnal Oost Indische
Spigle.
Pada
umumnya penulis-penulis Belanda tersebut kurang memperhatikan sumber-sumber
lokal yang ada di Indonesia. Salah satu contoh Historiografi kolonial adalah buku sejarah karangan J.J. Meinsma,
yang berjudul Geschiedenis van Nederlandsch Oost Indische Bezettingen (Sejarah
Hindia Belanda dan Daerah Sekitarnya).
3. Historiografi
Nasional
Historiografi Nasional adalah penulisan
sejarah yang bersifat Indonesiasentris. Indonesiasentris artinya penulisan
sejarah yang membahas peranan Bangsa Indonesia dalam peristiwa sejarah.
Penyusunan sejarah Nasional tentu akan lebih mementingkan unsur konsensus,
seperti persatuan, integrasi, dan ketertiban masyarakat.
Pada seminar sejarah pertama di Yogyakarta
pada tahun 1957, muncul pemikiran perlunya Nasionalisasi atau pribumisasi
Hitoriografi Indonesia. Pada seminar sejarah Nasional Indonesia yang kedua pada
tahun 1970, muncul perdebatan mengenai peranan bangsa Indonesia dalam sejarah
Indonesia. Dampak seminar sejarah Nasional Indonesia pertama dan kedua yang
ingin menjadikan sejarah Nasional Indonesia lebih otonom juga terus berlanjut.
Untuk menindak lanjuti hasil seminar sejarah
Nasional yang kedua, dan dikuatkan lagi pada seminar sejarah Nasional yang
ketiga tahun 1981 di Jakarta maka dilakukan upaya integrasi ilmu sejarah dengan
pendekatan ilmu-ilmu sosial.
Atas dasar kemajuan yang diperoleh dalam
teori dan metodologi sejarah, sejarawan Indonesia yang dimotori oleh Sartono
Kartodirjo, Marwati Djoned Pusponegoro,
dan Nugroho Notosusanto telah berhasil menyusun buku sejarah yang berjudul
“Sejarah Nasional Indonesia”.
Beberapa contoh karya sejarah nasional adalah
tulisan-tulisan sejarah yang berasal dari kalangan sejarawan akademisi yang
merupakan hasil disertasi yang telah bershasil di terbitkan. Misalnya,
buku-buku yang berasal dari disertasi T. Ibrahim Alfian yang berjudul “ Perang
di Jalan Allah” dan terjemahan buku disertasi Sartono Katodirjo yang berjudul
“Pemberontakan Petani di Banten 1888”.